DN AIDIT
Mula-mula Dipa Negara, kemudian Dipa Nusantara
Tidak suka bicara2 tentang diri dan keluarganya
Penulis: Bambang Sindhu
Orang yang akan kita bicarakan sekarang, seperti yang sudah saya katakana minggu yang lalu, adalah anak menantu bu Mudigdo, D.N. Aidit. Mertua dan menantu, ini bisa dipandang orang disengaja. Bisa juga tidak disengaja. Bisa juga secara kebetulan dan bisa pula secara tidak kebetulan. Kita bicarakan Bu Mudigdo pada waktu dan suasana peringatan hari Kartini; yang kebetulan keluarga Mudigdo masih geparanteerd. Masih satu keturunan dengan Kartini. Kita apa siapakan DN Aidit dalam suasana peringatan Hari Kemenangan Buruh 1 Mei ini. Hari kemenangan kaum proletar sedunia. Dan dalam perinagatan 1 Mei ini Partai Komunis di mana-mana negeri memegang peranan yang sangat penting. Partai komunis memegang peranan yang sangat penting, sebab partai komunis menjadi pelopornya gerakan buruh.
Jadi, kita bicarakan Aidit, lepas dari persoalan2 politik antara partai2 dewasa ini. Kita bicarakan Aidit lepas dari pada pertentangan antara Masyumi-PSI disatu pihak dan PKI dilain pihak.
Hampir tiap orang partai atau mereka yang memperhatikan dan mengikuti jalannya dan perkembangan politik sehari-hari diwaktu itu, tahu dan melihat kenyataan, pertentangan antara PSI dan PKI sangat hebat. Pertentangan antara Masyumi dan PKI sangat besar. Semakin hari semakin menjadi-jadi. Kita bicarakan Aidit lepas dari pada pertentangan2 partai ini dengan partai itu. Lepas dari pada pertentangan pemimpin partai ini dengan pemimpin itu.
Lepas dari pertentangan Aidit sendiri dengan Moh. Natsir, Sukiman, Jusuf Wibisono, Sutan Syahrir, Subadio, dll.
Kita Apa Siapa kan Aidit sebagai manusia. Sebagai seorang yang pernah turut aktif pada persiapan2 proklamasi kemerdekaan Indonesia. Sebagai anak menantu Bu Mudigdo. Sebagai anak Komunis. Sebagai Sekjen Central Komite PKI. Sebagai seorang yang dewasa ini sedang menjadi pembicaraan orang pada umumnya.
Pemimpin2 Masyumi dan PSI tentu tidak senang kepada Aidit. Bukan saja tidak senang, malahan sangat benci kepadanya. Selain berbeda dalam azas2 dan tujuan partainya, pemimpin2 Masyumi dan PSI itu dimana-mana dan sering2 mendengar ucapan2 Aidit yang sangat tajam terhadap Moh. Natsir, Dr. Sukiman, Jusuf Wibisono, Sutan Syahrir. Ucapan dan kritik2 yang yang menurut mereka itu terlalu keras, terlalu berlebih-lebihan. Tapi mungkin menurut pandangan Aidit dan PKI sendiri, ucapan dan kritik2 serupa itu harus sudah ada pada tempatnya. Moh. Natsir, Sukiman, Syahrir dan juga Tedjasukmana. Sudah seharusnya dilabrak serpa itu. Dan sepanjang faham PKI, kritik2 Aidit terhadap pemimpin Masyumi dan PSI itu bukannya tidak beralasan. Bukannya kritik asal kritik saja, bukannya labrak asal labrak saja. Sebab menurut Aidit, semua-semua itu mulanya berasal dari pihak lawan2nya itu. Karena pemimpin Masyumi yang lebih dahulu menyerang PKI. Karena orang2 PSI yang menghantam PKI lebih dahulu. Karena Sukiman yang melakukan rasia Agustus. Karena Sjarifuddin Prawiranegara yang melakukan politik gunting uang. Karena pemimpin2 PSI yang mengadakan peristiwa 17 Oktober tempo hari.
Aidit ini rupa-rupanya anggota paling muda nomor dua dari CC PKI. Yang paling muda nomor dua, sebab yang paling muda sendiri umurnya ialah Nyoto, lantas Aidit, lantas M.H. Lukman, lantas Sudisman, lantas Ir. Sakirman. Lima orang ini sekarang duduk dalam politbiro.
Juga anggota2 CC PKI lainnya, yang tidak dalam politburo, sebagian terdiri dari orang2 muda: Wikana, Paris Pardede, Jusuf Adjitorop dll. Lagi. Kaum tua yang dari angkatan tahun 1926 tidak ada lagi. Pak Alimin sudah berhenti dari Central Comite. Dan yang masih ada dari angkatan lama ialah beberapa yang duduk dalam parlemen sementara: Djaetun, Musirin, Said Ali.
Ketiga-tiga tenaga muda itu, Aidit, Lukman dan Nyoto, yang justru duduk dalam secretariat CC PKI. Yang justru pula duduk dalam politburo. Yang justru tiga-tiganya menjadi sekretaris Jenderal, DN Aidit – Sekretaris Jenderal, Lukman – Wakil Sekretaris Jenderal I, dan Nyoto – Wakil Sekeretaris Jenderal II.
Tiga2nya usianya lebih muda daripada anggota2 Dewan Pimpinan Pusat dari lain2 partai politik di Indonesia. Tiga2nya jauh lebih muda dari kawan2nya anggota2 Central Comite dari Parta2 KOmunis di pelbagai Negeri. Aidit sekarang 31 tahun, Lukman 34 tahun dan Nyoto 29 tahun. Nyoto ini yang tempo hari dalam BPKNIP di Jogja mewakili PKI dan menjadi anggota yang paling muda dari BPKNIP. Jadi disbanding usia kawan2nya dalam pimpinan CC Partai Komunis dibanyak negeri, Aidit-Lukman-Nyoto, umurnya hanya separuh dari mereka. Karena hamper semua anggota CC itu umurnya paling sedikit 50 tahun. Ada yang lebih dari 60 tahun, ada yang lebih dari 70 tahun.
Tapi tiga-tiganya itu, Aidit-Lukman-Nyoto termasuk tenaga2 muda revolusioner yang turut aktif dalam revolusi 1945, pada zaman sebelum dan sesudah Proklamasi. Aidit dulu di Gerindom (Gerakan Indonesia Merdeka). Lukman bersama Aidit dalam asrama pendidikan politik Angkatan Baru Indonesia di Menteng 31, Jakrata, dan Nyoto, pernah turut dalam perebutan senjata dari tangan Jepang di Surabaya, Bangil dan Jember.
Orang banyak yang bertanya-tanya dan setengah heran melihat perubahan susunan pada Central Comite PKI sekarang. Mengapa hamper semua anggota Central Comite terdiri dari tenaga2 muda yang tentunya kurang pengalaman-pengalaman politik? Mengapa pak Alimin berhenti dari politburo dan CC? Mengapa Tan Ling Djie dipecat dari keanggotaan CC? Mengapa Ir Sakirman yang menggantikan Ngadiman sebagai ketua fraksi PKI dalam parlemen? Dan mengapa anak-anak muda seperti Aidit-Lukman-Nyoto malahan duduk dalam Politbiro? Cobalah, kata setengah orang, lihatlah dan tengoklah anggota2 pimpinan Partai Komunis di luar negeri. Orang2 tua, tenaga tua2 yang dalam pimpinan sejak masa sebelum perang Dunia yang baru lalu, sampai sekarang, masih banyak yang berkedudukan dalam Central Comite. Tidak seperti halnya PKI, seolah-olah tenaga tua didepak begitu saja dan tenaga-tenaga muda pada merebut pimpinan. Itu suara2 dari orang luar. Orang2 yang bukan PKI. Malah mungkin suara2 dari orang2 yang bukan komunis. Yang tentunya tidak mengetahui keadaan yang sesungguhnya didalam PKI.
Terhadap soal ini, terhadap suara2 serupa itu, bagi DN Aidit sebagai Sekjen nya, tentunya perkara gampang. Semua2 harus disesuaikan dengan keadaan. Taktik perjuangan harus disesuaikan dengan keadaan waktu dan tempat. Seperti sering2 kita dengar ucapan Aidit: Sovyet Uni dan Partai Komunis Sovyet Uni, mempunyai jalan sendiri. RRT dan Partai Komunis Tiongkok mempunyai jalan sendiri. Dan Indonesia dan PKI pun mempunyai jalan sendiri. Tidak mau mengekor dan tidak mau meniru-niru jalan Negara lain yang tidak dapat berlaku di Negara kita. Mungkin dalam hal susunan pimpinan partai Aidit berpendapat seperti mengenai soal siasat dsb. Waktu sekarang keadaan menghendaki tenaga2 muda yang militant harus tampil kemuka. Orang tua2, pemimpin tua2, biarlah disamping saja. Jika perlu, malah biar tinggal dibelakang saja. Aidit harus dimuka sendiri, LUkman harus dimuka. Nyoto dimuka Sudisman dimuka. Dimuka. Dimuka.
Aidit, nama lengkapnya adalah Dipa Nusantara Aidit. Melihat namanya itu, orang sudah bias menduga. Ini bukan orang dari Jawa. Pasti dari pulau lain. Dari seberang. Tapi kebanyakan orang, juga orang2 PKI sendiri malah banyak yang tidak tahu dari mana asalnya Aidit. Lebih2 Aidit sendiri orangnya termasuk orang pendiam.
Berhadapan dengan dia, orang sudah bias tahu, roman muanya menunjukkan, dia seorang pendiam. Seorang yang ernstig. Seorang yang sarjeus. Memang sifat pembawaan Aidit pendiam. Tidak suka bicara yang tidak perlu. Tidak suka main2 dan ketawa2 dengan kawan2nya diwaktu duduk bersama. Disodorkan rokok tidak mau, karena memang dia tidak minum rokok. Ditanya oleh kawannya siapa nama orang tuanya, apa pekerjaannya, dimana tinggalnya sekarang. Saudara Aidit punya saudara berapa, sekolah apa. Itu semua sukar bias dapat jawaban dari Aidit. Sukar. Sukar. Sukar.Aidit seorang yang tidak pernah bicara tentang dirinya. Tidak pernah mau cerita dan omong2 tentang ayahnya, ibunyadan saudara-saudaranya. Tidak mau bicara mengenai keluarganya. Ditanya tentang sekolahnya dulu, sekolah apa, paling banyak jawabnya hanya “Sekolah biasa saja”. Jika yang bertanya itu seorang yang dipandangnya bukan kawannya, jawabnya ditambah “Saya tidak punya titel” . Padahal pelajarannya sampai pada Sekolah Dagang Menengah di Jakarta.
Ayahnya dulu seorang mantra kehutanan di pulau Biliton. Sekarang jadi anggota DPR Daerah Bangka. Ibunya pun masih ada. Jadi, Aidit keturunan Biliton. Tapi ia dilahirkan di Medan. Ada saudaranya lelaki, adik kandung, yang kini masih belajar di SMA Jakarta, yang juga aktif dalam kalangan kesusasteraan.
Nama aselinya hanya Aidit saja. Dipa Nusantara itu dipakainya kemudian. Mula2 bukan Dipa Nusantara. Tapi Dipa Negara. Entah karena apa lantas diganti dengan Dipa Nusantara. JIka orang menanyakan padanya tentang mula bukanya dia menggunakan nama Dipa Negara dan kemudian Dipa Nusantara, dia pun tidak akan mau memberitahukannya. Ini hanya mungkin bias terjadi kepada satu atau dua kawannya yang paling dekat padanya, yang paling terpercaya olehnya. Saya sendiri sudah lama menduga, dia memakai nama itu kira2 sejak jamannya API dan GERINDO. Jamannya dia dalam Angkatan Pemuda Indonesia dan Gerakan Indonesia Merdeka.
Dalam jaman pendudukan Jepang, ketika Aidit dikejar-kejar Kempei. Ketika dia berjalan mengelilingi pulau Jawa. Saya tanyakan kepada kawan2nya sejak API, mengapa dia dulu pakai nama Dipa Negara. Apa dia seorang fanatikus Diponegoro? Apa dia ingin jadi Diponegoronya abad ke-20?Keterangannya hanya sedikit. Sejak API, sejak Aidit berumur 16 tahun, dia memang sudah terkenal seorang yang sangat pemberani. Karena sangat beraninya itu. Banyak kawan2nya diwaktu itu, sampai juga kawan-kawannya pada jamannya Partai Sosialis sesudah Proklamasi, yang memberinya julukan dia “Macan”. Harimau. Jadi, seandainya nama “Macan” itu masih berlaku sampai sekarang bagi Aidit, maka Masyumi mempunyai Singa (Kasman Singodimedjo), dan PKI mempunyai Macan. Pertentangan antara pemimpin Masyumi Singodimedjo dengan Aidit bias diibaratkanpertentangan atau perkelahian antara Singa dan Macan. Tapi untung sudah tidak demikian keadaannya. Orang sudah tidak lagi memanggil “macan” kepada Aidit. Sehingga pertentangan Masyumi-PKI tidak bias disamakan dengan perkelahian antara Singa dan Macan. Tidak. Tidak. Tidak.
Perwujudan Aidit adalah perwujudannya orang yang sederhana. Sangat sederhana malahan. SEderhana dalam banyak hal. Tidak suka merokok. Tidak suka main-main dana ketawa-ketawaan. Tidak ada sifat2 menyombong. Tidak suka houding mentereng dan kelihatan aksi. Diam dan serius. Kesederhanaannya meliputi sampai pada pakaiannya. Sampai pada gerak-gerik badannya. Dan sampai pada bahasanya.
Dimana saja, dimuka siapa saja, di lingkungan siapa dan apa saja, dimuka rapat umum, didalam rapat Politbiro dan Pleno CC PKI didalam diskusi2 yang mendalam, didalam tulisan-tulisannya, DN Aidit selalu menggunakan bahasa yang sederhana, bahasa yang popular, bahasa rakyat.
Sementara orang mengatakan, Aidit sekarang sikapnya tenang, bicarapun tenang. Tidak seperti dulu, ketika masih di Markas Besar PKI Bantaran, ketika masih di Sekretariat FDR. Anggapan itu agak kurang tepat. Dulu Aidit tenang, sekarang pun tenang. Dulu memang badannya kurus, sekarang gemuk. Waktu itu belum beristri, sekarang sudah. Tentang perkawinannya dengan Bole, anak Bu Mudigdo itu, saya dengar selentang-selenting. Bu Mudig mula2 tidak sukapada Aidit, tidak setuju Bole dikawinkan dengan Aidit. Entah alasannya, saya tidak tahu. Tapi, akhirnya oh jadi juga Bole menjadi istri Aidit. Malah sekarang hidupnya berbahagia.
Aidit dan Bole, suami-istri berbahagia. Sebab dari Aidit sendiri, dia sudah dikaruniai 3 orang cucu. Masih kecil2. Bu Mudig cinta benar pada cucu2nya. Mereka di-emong selalu oleh bu Mudig. Ibunya masih kuliah pada Fakultit Kedokteran. Sekarang sudah mencapai tingkatan semi arts.
Bersambung…